“Heeeei, fajar
telah tiba, nih. Ayo berkumpul ke tengah desa melihat smurf-smurf lainnya”
“Smuuuuurf.....smuuuuurf......,
coba cari papa smurf untuk menyiapkan hidangan smurf untuk sarapan hari ini”
###
Penggalan beberapa kalimat pada komik yang berjudul
“Kepala Smurf dan Smurf Keras Kepala” mendadak harus terhenti kubaca.
“Saniaaaaa, ayo cepet kita berangkaaaat”, teriak Ika.
“Iyaaaa”, kujawab seketika sambil beranjak ke luar dari
taman bacaan ini.
Namaku Sania, berasal dari Jakarta yang saat ini sedang
merantau di Yogyakarta bersama Ika, teman masa kecilku. Saat ini kami sama-sama
kuliah semester dua di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta.
Walaupun berbeda jurusan, kami sama-sama belajar di fakultas yang sama yaitu
Fakultas Ilmu Budaya.
“Kamu baca komik lagi?”
“Emmm, begitulah...”
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan asik baca komik?
Seharusnya kamu sudah mulai sibuk pacaran daripada malam minggu hanya di kamar
kos sendirian”
“Iya..iyaaa.., bawel deh, mentang-mentang kamu sudah
punya pacar”, sahutku agak kesal.
Aku berbeda dengan Ika yang sejak kecil terkenal sangat
pintar, riang, dan cantik. Aku seorang gadis biasa yang cenderung tertutup
sampai-sampai sering merasa malu jika harus bertatapan wajah dengan lawan
jenis. Sama halnya dengan kejadian hari ini dan beberapa bulan lalu, sebenarnya
aku sering ke taman bacaan dekat kampus bukan sekedar untuk membaca komik
kesukaanku, Smurf, suku fiktif berwarna biru yang dikisahkan hidup di sebuah
hutan di Eropa, melainkan karena ada seseorang yang selalu menarik minat mataku
untuk melihatnya.
Lelaki bertubuh kurus yang suka mengenakan kemeja longgar
dan celana panjang berbahan jeans. Sering pula kulihat ia lengkap mengenakan
kacamata dengan lensa yang sedikit mengkilap karena mungkin selalu dilap dengan
pembersih khususnya. Aku melihatnya pertama kali di taman bacaan ini yang
kutemukan tanpa sengaja di perjalanan menuju kos sepulang kuliah pada semester
awal. Aslinya aku mendatangi taman bacaan itu karena tertarik dengan bangunannya
yang berwarna biru cerah yang lantas kuberi nama “Taman Bacaan Biru”. Sampai
akhirnya ia pun datang dan langsung membuat hatiku bergejolak seperti ada
kupu-kupu terbang menggelitik di dalam tubuhku.
Aku hanya berani memandangnya dari sudut ruangan taman
bacaan. Kupikir ia pasti sangat suka membaca buku dan memang tinggal di sekitar
sini. Setiap kali aku mendatangi tempat ini, pasti kulihat juga dirinya datang
sekitar 10 sampai 15 menit setelah aku mulai membaca buku pilihanku yang
rata-rata adalah komik. Seandainya saja dia Saint Seiya, seorang kesatria di
salah satu komik Jepang yang pernah kubaca, aku ingin sekali menjadi Saori
Kido, reinkarnasi Dewi Athena yang harus selalu dilindunginya. Begitu pikirku
hampir setiap hari ketika melihat sosoknya yang tinggi dan ramping.
###
Beberapa hari ini aku tidak melihatnya di taman bacaan
ini. Aku menunggu sampai dua atau tiga judul komik selesai kubaca. Aku menunggu
sampai Ika terus memanggilku dari luar taman bacaan untuk berangkat bersama ke
kampus. Bahkan satu atau dua kalinya, aku dan Ika sampai harus terlambat masuk
kelas. Tentu saja Ika mengomeliku dengan ketus. Aku hanya bisa diam, menyesal
tanpa berkomentar.
“Dia
kemana, ya?”
“Apa
sedang sakit?”
“Ataukah
pergi ke taman bacaan lainnya?”
Begitu pikirku penasaran dalam hatiku yang suram setiap
kali tak melihatnya datang ke taman bacaan hingga hari ini, hari minggu. Genap
sepuluh hari aku kesepian membaca komik tanpa ditemani sesosok pria yang membaca
buku dari kejauhan sudut ruangan. Aku merasa putus asa.
Keesokan harinya, akhirnya aku tidak mendatangi taman
bacaan biru. Aku dan Ika langsung berangkat ke kampus dari kos kami yang tentu
saja membuatnya kebingungan. Ia bertanya mengapa aku tidak menyempatkan diri singgah
ke taman bacaan favoritku. Kubilang saja sudah tidak ada komik yang menarik.
Aku berbohong. Aku sedih. Aku kesepian.
Seselesainya mengikuti beberapa mata kuliah di hari ini,
aku keluar ruang kelas dengan lesu. Kemudian aku mendadak terkejut, mataku
terbuka lebar, aku melihatnya. Aku melihat sesosok pria yang selama ini
kunantikan di taman bacaan biru kesukaanku. Pria yang sering mengenakan kemeja
longgar, celana panjang jeans, serta kacamata
dengan gagang yang pipih namun kokoh, serta lensa yang sangat bening. Bedanya
hari ini ia mengenakan tas, topi, dan sepatu yang cukup tren dengan warna yang
senada. Dia berjalan ke arahku, tersenyum, dan memanggil Ika
dengan suaranya yang terdengar jernih dan lembut.
“Hah?”
“Bagaimana
dia bisa kenal dengan Ika?”
“Kenapa
dia ada di sini?”
Sungguh pertanyaan-pertanyaan di dalam benak ini terasa
memusingkan kepalaku sampai akhirnya aku mengerti alasan pria ini sering
terlihat di taman bacaan favoritku. Ternyata dia teman satu kos pacarnya Ika
yang memang tinggal di dekat kampus ini. Ternyata dia kenal Ika karena pacarnya
sering mengajaknya untuk pergi bersamanya sepulang kuliah. Ternyata dia sering
ke taman bacaan itu karena Ika sering menyuruhnya berkenalan denganku tapi dia
enggan menggangguku yang terlihat serius membaca komik. Ternyata sejak hari itu
dia tertarik mengajakku berkenalan namun tertahan karena takut tak kurespon.
Ternyata beberapa hari tak terlihat mendatangi taman bacaan karena memang dia
sedang mudik ke Jakarta karena urusan keluarga. Ternyata dia langsung kemari
karena tak melihatku di taman bacaan.
Ika sukses membuat mukaku terlihat merona merah delima di
bawah langit yang biru. Siapa sangka aku hari ini bisa resmi berkenalan dengan
sesosok pria yang selama ini aku nanti-nantikan. Ega namanya yang tentu saja
selanjutnya kami akan selalu ke taman bacaan bersama. “Taman Bacaan Biru” yang
akan selalu menjadi kenangan.
Aku tersenyum malu-malu menantikan hari-hariku
bersamanya, mendengar ceritanya, mendengar tawanya, bahkan hingga kepulanganku
ke Jakarta bersamanya dengan membawa cerita bahagia yang bisa kusampaikan ke
orang tuaku. Dialah pujaanku, imajinasiku yang menjadi nyata, cinta pertamaku.
###
Karya ini bertemakan cinta pertama. Aku menulis cerita pendek ini untuk pertama kalinya karena selama ini hanya mencoba menulis berupa artikel. Ide tulisannya muncul begitu saja di sela-sela kegiatanku di rumah hanya demi menuangkan kesenanganku dalam menulis. So, semoga kamu suka ya.
Terima kasih.
No comments:
Post a Comment