Rain (www.theodysseyonline.com) |
“Tik...tik...tik...”
Ah, aku paling benci jika hujan mulai turun. Terpaan air hujan dan
anginnya membuatku mudah menggigil. Hidungku ngilu memerah karena sering
kutekan demi mencegah bersin. Aku memilih malas-malasan di sofa dengan berselimut
kain semi tebal, sesekali menyeruput secangkir susu vanila hangat sambil menantikan
rintik hujan perlahan menghilang dari penglihatanku dari balik jendela ruang
tamu yang mulai tertutup embun tipis.
Saat ini waktu menunjukkan pukul 14.00 namun sinar matahari tampaknya
masih enggan menyapa. Aku memang paling malas main hujan-hujanan sejak
kecil. Bahkan di setiap tasku, pasti ada saja payung yang sengaja kuselipkan
hingga tak heran jika kudapati julukan ‘si anak payung’ oleh teman-temanku.
“Pus...pus..." mendadak suara ramah seperti sedang memanggil-manggil seekor kucing terdengar dari kejauhan, memecah
keheninganku yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu ini. Benar saja, ternyata ada seekor kucing
liar sedang berteduh di halaman rumahku. Tak kusadari keberadaannya karena kucing itu berwarna hitam pekat dan tak mengeluarkan suara karena terlalu kedinginan. Ketika seorang pemuda tampan
akhirnya menemukannya, ia langsung mendekatinya dan memberi makanan dari
tangannya, sisa-sisa tulang ayam yang mungkin baru saja ia makan. Ia juga meletakkan sehelai handuk bekas yang sudah terlipat rapi untuk ditempati oleh kucing hitam itu agar tetap hangat.
“Sepertinya pemuda itu sepantaran denganku.” Tebakku ketika melihatnya masih mengenakan seragam sekolah yang
serupa denganku, berwarna putih abu-abu. Ia tampak manis walaupun raganya mendekati kuyup karena tak mengenakan payung padahal hujan tak hanya sekadar gerimis. Sesaat melihatnya, entah kenapa aku tertarik mengajaknya berkenalan. Aku ingin
dia mengetahui bahwa namaku, seseorang yang saat ini sedang memperhatikannya, adalah Rani.
Hatiku bergemuruh melihat senyum simpulnya yang merekah sambil tangannya tak henti mengusap-usap lembut kucing liar yang terlihat mulai terasa nyaman. Aku mengurungkan niat untuk menghampirinya, berharap melihat senyum manisnya lebih lama lagi hingga akhirnya pemuda itu beranjak pergi menerjang hujan entah ke mana.
***
Keesokan harinya sepulang sekolah, hujan kembali turun dengan derasnya. Aku duduk termenung lagi di salah satu sofa yang terletak pada sudut ruang tamu tepat menghadap ke arah jendela. Tak berani menerka kemungkinan adanya kejadian seperti kemarin, mendadak kutarik senyuman penuh makna tak lama ketika suara pemuda yang sama mulai sayup terdengar. "Pus...pus..." suara lembutnya memanggil-manggil kucing liar semakin mendekat. Aku lantas bergegas ke luar rumah untuk menghampiri suara tersebut hingga lalai mengenakan payung.
Ternyata aku memang paling benci hujan. Pandanganku
mendadak kabur teralihkan tetesan airnya yang semakin deras. Aku mendadak tersungkur ke tanah. Kepalaku
terasa berat. Badanku menggigil. Beberapa detik kemudian, aku tak mampu mengingat apa pun selain kegelapan dan aroma tanah basah akibat hujan yang tak kunjung berhenti.
Mataku masih terpejam walau menyadari ragaku tengah terbaring di tempat tidur yang selalu membuat rindu. Perlahan kubuka mata dan ternyata benar, kudapati pemandangan kamar tidurku yang penuh warna biru meneduhkan. "Kamu sudah bangun?" Suara lembut mama terdengar dari sisi kanan tempat tidur. "Kenapa kamu keluar rumah hujan-hujanan, lupa sama anemianya?" Tambahnya lagi sambil geleng-geleng kepala.
Aku hanya bisa terdiam tak kuasa mengarang cerita apalagi sampai berbohong. "Makan dulu saja kemudian langsung minum obat. Jangan lupa ucapkan terima kasih sama Rian." Lanjut mama yang beranjak keluar dari kamar tidurku. "Rian siapa, Ma?" Tanyaku segera sembari mengikuti saran mama menuju ruang makan menyadari perut sudah keroncongan dan perlu diisi. "Itu Rian, tetangga kita yang tadi menggendongmu saat pingsan. Masa kamu enggak kenal?" Tunjuk mama ke arah pemuda yang duduk santai di ruang tamu, bahkan tepat sekali di sofa favoritku.
"Hai, kamu sudah baikan?" Sapanya dengan menguraikan senyuman ramah. Pemuda manis dengan suara lembut yang sempat membuatku terpana sejak kemarin. Aku terpaku bimbang sekaligus senang, tak menyangka pemuda tampan yang ingin kukenal malah tetanggaku sendiri. Mungkin hujan yang selama ini kubenci telah menyadarkan keberadaannya. "Kamu enggak apa-apa? Kenapa terdiam?" Tambahnya lagi. "Eh, iya. Salam kenal. Namaku Rani." Sahutku kagok berharap ia mengetahui namaku sebelum akhirnya terucap terima kasih.
"Loh, kita sudah saling kenal sejak kecil. Kamu enggak ingat sama aku, ya? Aku Rian." Jawabnya heran sambil menaikkan salah satu alisnya. "Eh?" Mataku membelalak. Aku kembali terdiam. Mungkin anemia yang menyerangku sejak kecil telah menghapus ingatanku. Mungkin juga Rian yang kukenal sejak kecil tanpa kusadari telah tumbuh menjadi pemuda yang jauh lebih tampan. Ah, aku tak sanggup mencari-cari alasan yang cocok setelah mendengar cacing-cacing dalam perutku mulai terdengar menjerit. Mungkin jika Rian kuajak makan bersama sambil mengobrol ringan akan membuka teka-teki ini.
"Aku ingat. Tapi kita makan dulu, yuk." Ajakku mantap menyembunyikan kebohongan kecilku tentang Rian. Aku dan Rian lanjut menuju ruang makan bersama, tak luput saling mengumbar tawa penuh ledekan satu sama lainnya. Oh iya, pastinya hujan-hujan berikutnya tak akan membuatku kesepian lagi sejak hari ini. Dan sepertinya, aku tak akan sanggup lagi membenci hujan.
***
No comments:
Post a Comment